Shalat
menjadi salah satu ibadah wajib umat Islam yang membangun sebuah tatanan
kehidupan seorang manusia. Shalat membawa manusia untuk mengingat kepada Allah
SWT., seperti yang tercantum dalam firman-Nya, “Orang-orang yang beriman, hati
mereka tenteram karena mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah
hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’ad 28). Dimulai sejak terbitnya fajar di ufuk
Timur, panggilan untuk mengerjakan Shalat Subuh telah berkumandang dan
karenanya seorang Muslim harus segera bangun dari tidurnya. Dzuhur, Ashar,
Maghrib, dan Isya’ turut mengikuti seiring berjalannya waktu. Sehingga
waktu-waktu shalat yang telah terbagi dalam satu hari tersebut, mendorong
seorang Muslim untuk turut menghargai setiap kesempatan dan waktu di sela-sela
kesibukannya untuk menghadap Allah SWT., bersujud, berdoa, dan berdzikir. Di
antara shalat dan di antara doa-doa yang dipanjatkan, seorang Muslim akan
menemukan ketenangan dan ketentraman hati. Umat Muslim beribadah kepada Allah
pada waktu Subuh untuk memulai hari dan beribadah pada waktu Isya’ sebagai
penutup hari. Tiap-tiap shalat ini menjadi sebuah pola kehidupan sehari-hari
yang kemudian mampu menciptakan keseimbangan hidup. Sebab tidak hanya pekerjaan
dunia yang harus umat Islam lakukan, justru mengingat kepada-Nya merupakan
tugas utama sebagai umat Islam.
Melakukan
shalat berarti membuka seorang Muslim untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Komunikasi
rohaniah menghasilkan kesucian jasmaniah serta rohaniah. Kesucian ini menjadi
sumber pendidikan dasar akhlak mulia untuk keperluan dalam kehidupan di
masyarakat. Dari dasar akhlak ini, melalui dilaksanakannya shalat wajib,
seorang Muslim diuji dengan kedisiplinannya dalam menjalankan shalat wajib. Di
antara kesibukan pekerjaan dunia, manusia tetap harus melaksanakan shalat
wajib. Sesuai dengan hadits Riwayat Abu Dawud, “Wahai Bilal, berdirilah,
lantunkan azan dan istirahatkanlah kita dengan shalat.”. Di lain hadits
Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya shalat dijadikan untukku sebagai
penenang hati.” (H.R. an-Nasa’i). Shalat telah menjadi jalan Rasulullah menuju
ketenangan hati, maka begitupun kita harus menjadikan shalat sebagai penenang
hati. Tidak hanya ketenangan hati yang mungkin kita dapatkan, tetapi melaluinya
pula kebersihan jiwa dan kesehatan jiwa akan muncul seiring keikhlasan kita
dalam menjalankannya dan seiring pula dengan keridhoan Allah SWT. untuk kita.
Ketenangan
dan kebersihan jiwa menuntun kita dalam berbagai hal di dunia. Seperti keseimbangan
jiwa kita yang mempengaruhi sifat pribadi kita dalam menanggapi segala sesuatu.
Menjauhkan diri kita pada sifat-sifat kurang terpuji karena hati yang kotor. Sebab
shalat menjadi perjalanan spiritual, proses berpindahnya jiwa menuju Allah SWT.
Naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam diri menuju kehadirat
Allah SWT. Menuju Dzat yang Maha Mutlak sebagai tujuan ruhani, sebagai sandaran
istirahatnya jiwa, sumber hidup, sumber kekuatan, dan sumber mencari inspirasi.
Manusia harus bergerak di sebuah ruangan yang mana Allah SWT. sebagai sumbunya.
Dalam ruangan tersebut, manusia harus mengesampingkan ego duniawi dengan
mengarahkan jiwa kepada Allah SWT. Daripadanya jiwa menemukan ketenangan dan
ketentraman. Karena sesungguhnya kembalinya jiwa adalah kepada Allah SWT.
Kata
As-shalah dalam definisi bahasa Arab memiliki makna (yakni dua akar
kata) yaitu shalla dan washala. Shalla berarti berdoa, maka
kita memohon maupun menyeru pada Allah SWT. Sementara washala artinya
sama dengan shilah, yaitu menyambungkan. Maka dari itu, shalat memiliki
makna adanya ketersambungan kita sebagai hamba dengan Allah SWT. Shalat berisi
doa dan dzikir kepada Allah SWT. Kalimat-kalimat doa dan dzikir sendiri pun
membawa kita pada ketenangan hati. Seperti dalam hadits, “Tidaklah berkumpul
suatu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah (masjid) yang di situ mereka
membaca Kitabullah (Al-Qur’an) saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali
akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para
malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang ada di
sisi-Nya.”. Adapun dalam QS. Al-Ma’arij: 19-23, yang artinya,
“Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir.
kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya,”
Melalui
firman-Nya tersebut, kita mengetahui bahwasanya manusia memang diciptakan
dengan sifat berkeluh kesah dan kikir. Maka untuk menghindari sifat buruk
tersebut, kita mendirikan shalat sebagai penolong. Kita memanfaatkan shalat
untuk alat penolong, sumber hidup, penerang jiwa, dan sandaran yang mana
manusia perlu berkomunikasi perihal permasalahan yang sedang dihadapi atau
persoalan yang menyulitkan. Oleh karena itu, shalat tidak hanya menjadi
rutinitas kewajiban sehari-hari, tetapi sudah menjadi kebutuhan dalam hidup.
Shalat adalah kebutuhan rohani yang mutlak bagi umat Muslim. Kesadaran perihal
pentingnya shalat ini harus tertanam dalam diri kita sejak dini. Shalat menjadi
simbol terapi jiwa.
عَنْ
أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
(بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
وَمُسْلِمٌ
Dari Abu
Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu‘anhuma, ia mengatakan
bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam
dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah
melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; dan
menunaikan shalat; dan menunaikan zakat; dan menunaikan haji ke Baitullah; dan
berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Komentar
Posting Komentar